Terkait Pernikahan Bupati AS Kuasa Hukum NY : ” Agak aneh kalau buku nikah di PTUN kan “

Palembang – NY didampingi kuasa hukumnya Ana Ariyanto ST SH diperiksa oleh penyidik Subdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Sumsel atas laporannya nomor : STTP/459/VII/2002/SPKT Polda Sumsel tanggal 30 Juli 2022 terhadap Bupati Banyuasin Askolani terkait dugaan kasus pernikahan tanpa izin dan penelantaran anak. NY diperiksa Jumat (5/8/2022) pagi di mulai pukul 09.15 hingga pukul 16.00 WIB.

“Klien kami diperiksa dimulai pukul 09.15 hingga pukul 16.00 WIB. Ada 32 pertanyaan yang diajukan penyidik kepada klien kami dalam pemeriksaan tadi,”kata Ana Ariyanto ST SH kepada wartawan.

Namun Ana Ariyanto tidak menjelaskan secara rinci terkait pertanyaan yang ditanyakan penyidik kepada kliennya. “Terkait apa apa saja yang ditanyakan penyidik kepada klien kami, itu semua ranahnya penyidik. Yang jelas hari ini klien kami diperiksa perdana terkait laporan yang dibuat beberapa hari lalu,”bebernya.

Sementara itu sambil menanggis, NY yang sekarang berdomisili di Apartemen Sudirman Park, Jl KH Mas Mansyur, Kav 35, Tanah Abang, Jakarta Pusat ini berharap kasusnya bisa menjadi jelas.

“Harapan saya bisa cepat dan agar kasus ini jadi jelas. Karena selama ini, kan gak bisa mengungkapkan apa-apa, karena banyak kendala. Intinya semoga semuanya bisa jadi jelas,” ujar NY.

Melalui tim kuasanya, NY juga menyampaikan tiga poin terkait pemberitaan yang sudah menyebar luas dan termasuk somasi dari pihak terlapor H Askolani.

“Ada catatan yang harus kami sampaikan agar publik bisa memahami kejadian yang sesungguhnya dan agar tidak terjadi pemutarbalikan fakta,” ujar Ana Hariyanto.

Mengingat dari pemberitaan tersebut, kata Ana, ada kesan NY yang melaporkan apa yang dialaminya sebagai korban. Namun dia melihat klarifikasi yang disampaikan sepertinya malah berbalik menghakimi kliennya.

Untuk itu, dia menegaskan poin yang perlu dicatat, yakni yang pertama, disampaikan bahwa secara hukum pernikahan kliennya sah secara hukum sebagaimana akta nikah nomor : 736/22/XII/2014.

“Perlu kami sampaikan juga bahwa dari informasi klien kami, buku nikah tersebut diserahkan di dalam kamar sekitar sehari setelah pernikahan oleh saudara AS. Jadi dalam hal ini menurut kami agak aneh kalau kemudian akte nikah tersebut di-PTUN-kan,” terangnya.

Lalu yang kedua, pihaknya tidak akan menanggapi semua statement yang berada di luar Laporan Polisi (LP) yaitu terkait dugaan tindak pidana menikah tanpa izin (Pasal 279 KUHP).

“Karena hal ini telah kami serahkan kepada pihak kepolisian dan itu sudah masuk ranah Polda Sumatera Selatan, tidak eloklah kami mengomentarinya,” tegas Ana.

Dan yang poin yang terakhir, lanjut dia, sebagai warga negara yang dilindungi hukum dan taat hukum. Silakan tempuh jalur hukum sesuai dengan mekanisme dan aturan yang ada.

“Jadi saudara AS, bila merasa difitnah, merasa dicemarkan nama baiknya silakan tempuh jalur-jalur yang dia inginkan. Dan yang perlu dicatat, (kasus) ini jangan dipolitisasi ini, karena ini murni masalah hukum,” pungkasnya.

Menanggapi laporan NY, Bupati Banyuasin melalui Kuasa Hukumnya Dedi Irama SH segera akan melaporkan balik NY ke polisi. Hal itu setelah pihaknya memberikan waktu somasi selama dua hari namun tidak ada itikad baik.

“Dari waktu somasi yang diberikan, NY dan kuasa hukumnya belum mencabut laporan dan meminta maaf kepada klien kami H Askolani,” kata Dedi dikutip dari sumeks.co.

“Jadi dari hasil rapat semalam, Insyallah dalam waktu dekat, apakah sore ini, atau malam ini kami akan membuat laporan polisi. Untuk waktunya itu strategi kami,” ungkap Dodi.

Pasal yang akan dilaporkan, tambah Dedi yakni pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, menuduhkan seseorang melakukan tindak pidana, pesangkaan palsu atau memberikan keterangan palsu. “Pasalnya 317 KUHP, 318 KUHP, 310 KUHP, 311 KUHP dan fitnah juga,” katanya.

Pertanyaanya, apakah menikah siri bisa dijerat dengan pasal perzinahan? Sebagai referensi, Pengadilan Negeri Solok pernah menjatuhkan hukuman pidana perzinahan terhadap pelaku nikah siri. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Solok Nomor 56/Pid.B/2014/PN.Slk Tahun 2014, kedua terpidana dinyatakan bersalah karena memenuhi unsur dari Pasal 284 ayat (1) ke-1 huruf a dan ke-2 huruf b KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP dikarenakan ia melakukan zina/gendak (overspel) meskipun telah menikah secara siri.

Sekedar mengingatkan bahwa jika menganalisa putusan tersebut, ratio legis dari Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan adalah pencatatan perkawinan dibutuhkan di kemudian hari sebagai validitas perkawinan.

Kawin yang dimaksud di sini adalah sebagaimana diatur di Pasal 2 UU Perkawinan, yakni dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah.

Pembatalan perkawinan adalah tindakan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan itu tidak sah. Akibatnya, perkawinan itu dianggap tidak pernah ada sebagaimana ditegaskan Soedaryo Saimin dalam buku Hukum Orang dan Keluarga (hal. 16).
Pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 22 – Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya, yakni Pasal 37 dan Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP Perkawinan”).
Pasal 22 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pengadilan yang berwenang untuk membatalkan perkawinan adalah pengadilan yang daerah kekuasaannya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal suami istri, tempat tinggal suami atau tempat tinggal istri.
Bagi mereka yang beragama Islam, pembatalan dilakukan di Pengadilan Agama, sedangkan bagi mereka yang beragama non-Islam, pembatalan dilakukan di Pengadilan Negeri.
Kewenangan pembatalan perkawinan ada pada pengadilan tersebut mengingat pembatalan suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik terhadap suami istri maupun terhadap keluarganya, maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain di luar pengadilan.
Bagi masyarakat Muslim di Indonesia, aturan mengenai pembatalan perkawinan, selain diatur secara umum dalam UU Perkawinan dan perubahannya serta peraturan pelaksanaannya, juga diatur dalam Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).(red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *