MBR/Prajurit/Polri/ ASN dan Solusi Masalah Rumah Hunian

OPINI252 Views

OPINI: Daeng Supriyanto

Hingga saat ini masih banyak personel TNI AD yang belum memiliki rumah non dinas, baik personel yang baru maupun yang telah lama dinas. Kebijakan internal TNI AD ini berlaku juga kepada personel dengan masa kerja  0 hingga 10 tahun. Bahkan mereka wajib mengambilnya, baik dalam bentuk rumah yang dikembangkan oleh BP TWP maupun dalam bentuk pinjaman. Intinya, saat pensiun nantinya, personel sudah punya rumah yang layak huni.

Dalam empat tahun terakhir, pemerintah bersama pengembang baru bisa membangun 3,5 juta rumah dari total kebutuhan rumah sebanyak 11,4 juta. Presiden Joko Widodo meminta para pengembang ikut mempercepat penyediaan perumahan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), Polri, dan TNI.

Saat ini ada 945 ribu ASN, 360 ribu anggota Polri, dan 275 ribu prajurit TNI. Upaya tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kebutuhan perumahan (backlog) sebesar 11,4 juta. Dari percepatan pemenuhan kebutuhan rumah diharapkan bisa mendorong dan memberikan multiplier effect pertumbuhan ekonomi.

Rinciannya, 699 ribu rumah pada 2015, 805 ribu rumah pada 2016, 904 ribu rumah pada 2017, dan 1,1 juta rumah pada 2018. Pada tahun ini, pemerintah menargetkan pembangunan perumahan bagi MBR bertambah menjadi 1,25 juta rumah. Target tersebut diharapkan dapat ikut mengurangi angka kebutuhan rumah bagi para ASN, anggota Polri, dan prajurit TNI.

Agar target tersebut bisa tercapai, Jokowi meminta masukan terobosan dari para pengembang yang tergabung di Real Estate Indonesia (REI), Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi), dan Himpunan Pengusaha Perumahan (Himpera).

Kepala Negara juga meminta terobosan mereka terkait pembangunan perumahan untuk lima tahun ke depan. Sehingga bisa dicarikan solusi yang konkret dan kami harapkan percepatan pembangunan perumahan betul-betul bisa direalisasikan.

PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Terus menjalin kemitraan strategis dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) untuk menyediakan hunian bagi para prajurit. Melalui kerja sama tersebut, Bank BTN menyatakan siap membiayai sekitar 10.000 unit rumah setiap tahun untuk anggota TNI AD.

Direktur Utama Bank BTN Haru Koesmahargyo mengatakan pihaknya mendukung misi para petinggi TNI AD yang sangat peduli atas kebutuhan para prajuritnya akan tempat tinggal. Misi tersebut, lanjut Haru, sejalan dengan tugas yang diemban Bank BTN untuk menyediakan rumah layak bagi masyarakat Indonesia melalui Program Sejuta Rumah (PSR).

Dalam kerjasama ini, Bank BTN juga akan mengelola dan mengoptimalkan dana Tabungan Wajib Perumahan Angkatan Darat (TWP AD). Perseroan juga akan menyediakan banyak layanan kredit konsumer, termasuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk para anggota TNI AD.

Terdapat dua skema kredit yang ditawarkan untuk mencapai target 10.000 unit rumah setiap tahun. Pertama, KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan suku bunga 5%, uang muka 1%, dan bantuan uang muka Rp4 juta. Untuk skema KPR ini, BTN mengalokasikan realisasi penyaluran sekitar 7.000-8.500 unit per tahun.

Kedua, Bank BTN menawarkan program KPR TWP AD yang memiliki angsuran lebih murah melalui jangka waktu panjang dan suku bunga rendah. KPR TWP AD memberikan suku bunga 5,25%, jangka waktu hingga 30 tahun, dan uang muka mulai 0%. Untuk program KPR ini, bank BTN mengalokasikan realisasi penyaluran sekitar 1.500-3.000 unit per tahun.

Selain dua tipe KPR tersebut, kemitraan ini juga membuka kesempatan bagi para anggota TNI AD untuk mengakses layanan Kredit Ringan Tanpa Agunan (KRING) BTN Patriot, KPR BTN Patriot, dan KPR Takeover.

Diharapkan, saat pensiun nantinya tidak ada lagi personel TNI AD yang memiliki permasalahan rumah seperti yang selama ini kita dengar. Permasalahan perumahan bagi personel TNI AD sangatlah krusial, karena tidak hanya menyangkut tentang kesejahteraan semata. Namun juga harus bisa menjamin kesiapsiagaan operasional satuan yang harus dapat digerakkan setiap saat.

Dikarenakan (jumlah rumah dinas) terbatas, banyak personel kita (TNI AD) yang masih menyisihkan gajinya untuk membayar kontrakan agar dapat tinggal di sekitar kantornya. Ini tidak hanya di satuan dinas atau jawatan saja namun juga di satuan-satuan operasional.

Kini permasalahan tersebut secara bertahap telah diurai melalui pembangunan rumah dinas dalam bentuk Rumah Susun (Rusun) di sekitar kesatrian atau kantor dan juga Rumah Swakelola.

Sedangkan manfaat kerjasama bagi Prajurit adalah Pengalihan Swakelola ke KPR BTN, KPR bagi prajurit TNI AD yang belum memiliki rumah dapat mengajukan melalui Bank BTN, Keringanan biaya KPR BTN TNI AD dan Kemudahan bagi prajurit dalam memilih rumah impian.

Bank BTN menyediakan perumahan bagi TNI AD sebanyak 10.000 unit per tahun. Dengan rincian Alokasi 1.500 s.d. 3.000 unit/tahun bagi KPR TNI AD maksimal 250 juta, Alokasi 7.000 s.d. 8.500 unit/tahun bagi KPR subsidi.

Secara nasional, dari 6.000 unit rumah yang akan dibangun sampai tahun 2019. Saat ini baru 5.300 unit yang sudah selesai. Sedangkan Perumahan Green Kartika Residence Cibinong yang dibangun di atas lahan seluas ± 3,7 Ha ini dibangun 150 unit bagi personel TNI AD dari mulai tipe 36A, 36B, 45 dan 46.

Sedangkan untuk pembayarannya, menurut pihak BTN menggunakan sistem potong gaji dan dikerjasamakan dengan Bank BRI serta dapat dimonitor melalui aplikasi berbasis Android. Jadi, setiap orang dapat melihat secara reall time, pembayarannya. Kita lakukan terobosan ini agar lebih transparan, baik kepada BP TWP sendiri maupun bagi personel atau keluarganya, dan potongan bervariasi sesuai dengan jenis rumah dan lama waktu pinjaman.

Bagi yang mengambil uang dan menyerahkan agunan, Tamtama dan Bintara maksimal Rp 150 juta, Perwira Pertama (Letda – Kapten) maksimal Rp 190 juta, serta Perwira Menengah (Mayor – Kolonel) sebesar Rp 250 juta rupiah. Sedangkan PNS disesuaikan dengan golongan kepangkatan.

Sentara itu disisi lain setidaknya ada tiga solusi kebijakan finansial yang bisa diterapkan untuk membantu kelas menengah bisa berpartisipasi di pasar properti. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengalokasikan anggaran perumahan bersubsidi untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebesar Rp 11 triliun untuk 102.500 unit rumah pada 2020.

Penetapan kebijakan finansial yang berpihak pada masyarakat kelas menengah dalam penyediaan perumahan kerap luput dari perhatian. Kelas menengah dalam konteks tulisan ini adalah mereka yang tak lagi tergolong masyarakat berpenghasilan rendah, tapi juga tak mampu berpartisipasi di pasar properti.

Suplai hunian bakal berakhir tak terserap jika tidak ada intervensi kebijakan finansial dari pemerintah yang bisa menjamin mereka mendapat akses untuk memiliki hunian.

Perlunya intervensi kebijakan finansial yang berpihak pada kelas menengah juga bukan tanpa alasan. Di Jakarta, misalnya. Tak adanya intervensi kebijakan finansial membuat masyarakat meninggalkan Jakarta dan membeli rumah di luar Ibu Kota.

Pilihan itu terpaksa diambil karena mahalnya harga hunian. Kondisi tersebut tentu merugikan Jakarta lantaran hilangnya potensi pajak dan pendapatan daerah dari aktivitas belanja kelas menengah.

Mereka bekerja di Jakarta tapi menghabiskan gajinya di luar Ibu Kota. Situasi pasar properti saat ini hanya bisa diintervensi oleh pemerintah. Tanpa adanya intervensi menyebabkan harga hunian makin tak terjangkau.

Selain itu, kelas menengah Indonesia yang lebar masih rentan kembali menjadi masyarakat berpenghasilan rendah. Bank Dunia menyatakan sejak 2000, sebanyak 10% kelas menengah kembali menjadi miskin atau masyarakat rentan, 40% turun ke kelas calon menengah dan hanya 50% yang bertahan di kelas menengah.

Data tersebut semakin menegaskan pentingnya intervensi kebijakan finansial pada penyediaan perumahan, terutama bagi masyarakat kelas menengah bawah. Intervensi tersebut bisa membantu masyarakat di kelas tersebut, yang mencapai 45% dari populasi atau 115 juta orang, mendapat akses hunian yang layak.

Mereka yang berada di kelas ini terbebas dari kemiskinan tetapi belum mencapai keamanan ekonomi penuh. Bagi kelompok ini, bergerak menjadi kelompok menengah sama potensinya dengan tergelincir kembali ke kelompok miskin.

Setidaknya ada tiga solusi kebijakan finansial yang bisa diterapkan untuk membantu kelas menengah bisa berpartisipasi di pasar properti. Pertama, menurunkan suku bunga kredit kepemilikan rumah. Data tahun 2021 menunjukkan suku bunga KPR Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara yakni 9,98%.

Angka tersebut masih di atas Thailand 5,34%, tetap lebih tinggi dari Malaysia 4,24%, dan jauh di atas Singapura 2,17%. Bantuan keringanan suku bunga KPR di Indonesia sebenarnya sudah berlaku bagi rumah pada program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Hanya saja, lokasi rumah program FLPP biasanya jauh pusat kota dan belum ditujukan untuk hunian vertikal di tengah kota. Pemerintah perlu mulai berpikir dengan wawasan urban dan memperbanyak hunian vertikal dibutuhkan untuk mengatasi mahalnya harga lahan di kota. Sebab, 56,7% penduduk Indonesia tinggal di perkotaan pada 2021.

Membuat masyarakat bisa tinggal di kota tempat mereka bekerja—tanpa perlu menempuh perjalanan selama dua jam pulang-pergi—akan menambah semarak peningkatan perekonomian kota tersebut.

Kedua, tenor pinjaman lebih panjang membuat besaran cicilan yang ditanggung masyarakat juga lebih ringan. Ini membuat masyarakat, terutama di kelas menengah bawah bisa mengatur keuangan dengan tetap memenuhi cicilan bulanan dan kebutuhan lainnya.

Saat ini masih jarang bank yang memiliki program KPR dengan tenor mencapai 25 tahun. Di Singapura, warganya mendapat tenor 25 tahun pada semua unit hunian rumah susun yang dibangun oleh Housing & Development Board (HDB). Tenor 25 tahun bukan lagi menjadi program bank tertentu, melainkan ketetapan pemerintah.

Ketiga, membuat adanya pilihan untuk menggunakan sebagian porsi saldo iuran BPJS Ketenagakerjaan untuk uang muka pembelian rumah. Cara ini sudah diterapkan Singapura dengan mengizinkan penggunaan saldo Central Provident Fund (CPF), iuran jaminan sosial, untuk uang muka pembelian rumah.

Dengan kebijakan pada CPF sebagai inspirasi, iuran BPJS Ketenagakerjaan bisa digunakan dengan kriteria yang ditetapkan pemerintah. Cara ini bisa membantu meringankan uang muka yang harus ditanggung calon pembeli hunian.

Penggunaan saldo BPJS juga membuat masyarakat bisa lebih leluasa memilih hunian yang sesuai dengan kemampuannya. Pasalnya, Subsidi Bantuan Uang Muka dari pemerintah saat ini nilainya maksimal Rp 4 juta.

Subsidi itu juga hanya ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Padahal, ada kelompok yang masuk ke kategori kelas menengah bawah dan tetap tak mampu untuk menyediakan uang muka.

Mereka yang berada di kelompok ini belum memiliki keamanan ekonomi penuh, apalagi dana segar untuk uang muka hunian. Belum ada kebijakan finansial yang menolong masyarakat di kelas tersebut.

Sudah saatnya penyediaan hunian bagi masyarakat diselesaikan secara menyeluruh dari konstruksi hingga kebijakan finansialnya. World Habitat Day yang jatuh pada Oktober lalu seharusnya bisa menjadi momentum untuk menyusun kebijakan finansial yang berpihak pada kelas menengah bawah, kebijakan yang inklusif untuk menghadirkan hunian yang layak bagi masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *