Aktivis Pertanyakan Kasus Gratifikasi PTSL Palembang Dengan Aksi Demo

Palembang – Munculnya pemberitaan  terkait kasus dugaan gratifikasi dalam Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) tahun 2019, yang menyeret dua orang Aparatur Sipil Negara (ASN) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Palembang Sumatera Selatan masih menimbulkan tanda tanya besar menginggat pemberi suap dalam perkara ini hingga sekarang belum ada pergerakan pihak jaksa untuk memeriksa dan menetapkan tersangka pemberi gratifikasi, hal tersebut disampaikan oleh beberapa aktivis “benamo” (ternama) di sumsel.

Sebut saja diataranya Yongki Ardiansyah SH selaku Ketua BIDIK Sumsel mengungkapkan kenapa pelaku pemberi suap dalam kasus tersebut tidak segera ditetapkan sebagai tersangka, “ kami heran dan bertanya kenapa pemberi Gratifikasi dalam kasus PTSL tahun 2019 di Palembang Tidak segera ditetapkan sebagai tersangka,” kata Yongki, Senin (3/9) di Palembang.

Aktivis lainnya M Syafik memaparkan bahwa Gratifikasi adalah salah satu tindak pidana khusus di Indonesia yang perbuatannya dilarang oleh hukum  Indonesia. Gratifikasi sering ditemukan dalam berbagai program pemerintah, termasuk dalam rangka Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang pelaksanaannya diatur oleh Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan  Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang ditujukan sebagai percepatan pendaftaran tanah.

tindakan Gratifikasi dapat dipidana apabila memenuhi unsur subjektif dan unsur objektif serta perbuatannya memenuhi sifat melawan hukum formiil dan materiil dari suatu tindak pidana, Adapun apa yang dimaksud dengan gratifikasi dijelaskan dalam penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor, sebagai berikut:

“ Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik, Menurut ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), baik pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana. Pasal 5 UU Tipikor, Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya atau  memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya,” Jelas Syafik.

Sementara itu Hendri Yanto SE salah satu ketua LSM yang sering melakukan Unras berjanji dalam waktu dekat akan melakukan unjuk rasa ke kantor Kejaksaan Negeri Palembang guna mempertanyakan kenapa pemberi gratifikasi tidak atau belum di proses hukum.

“ mungkin dalam waktu dekat kami akan melakukan unjuk rasa ke kantor kejaksaan Negeri Palembang guna mempertanyakan kenapa pemberi gratifikasi tidak atau belum di proses hukum sebagaimana yang terjadi pada kasus lainnya, “ ungkap Hendri.

Hendri pun mencontohkan  beberapa kasus gratifikasi yang terjadi pada beberapa tokoh di sumsel seperti, Perkara Romi Herton merupakan pengembangan dari kasus suap pengurusan sengketa Pilkada di MK. Pasca vonis Akil, KPK mulai menetapkan sejumlah kepala daerah sebagai tersangka. Salah satunya adalah Romi. Namun, tidak hanya Romi, KPK juga menetapakan istri Romi, Masyito sebagai tersangka, Romi dan Masyito didakwa penuntut umum KPK dengan pasal penyuapan dan pemberian keterangan bohong.

Seorang lagi, Bupati yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap pengurusan sengketa Pilkada di MK adalah Bonaran.

Pada 7 April 2014, KPK menangkap tangan Rachmat Yasin di Sentul Bogor. Rachmat diduga menerima suap terkait rekomendasi izin tukar-menukar kawasan hutan di Bogor. Selain Rachmat, KPK juga menangkap Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor M Zairin, dan pihak PT Bukit Jonggol Asri, Fransiscus Xaverius Yohan Yap.

Setelah memperoleh dua alat bukti permulaan yang cukup, Rachmat, Zairin, dan Yohan Yap ditetapkan sebagai tersangka. KPK menduga suap Rp4,5 miliar yang diberikan kepada Rachmat dengan maksud memuluskan tukar menukar kawasan hutan di Bogor untuk kepentingan PT Bukit Jonggol Asri.

Komisi Pemberantasan Korupsi telah menyelesaikan proses penyidikan terhadap seorang tersangka kasus suap yang melibatkan Bupati Muara Enim Ahmad Yani yatu terpidana ROF (Robi Okta Fahlefi swasta) Robi merupakan pemilik PT Enra Sari yang diduga telah menyuap Bupati Ahmad Yani terkait proyek-proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Muara Enim.

Selain itu terpidana Suhandy, dituntut bersalah dengan pemberian suap kepada Bupati Musi Banyuasin (Muba) nonaktif Dodi Reza Alex beserta pejabat di Dinas PUPR kabupaten setempat.

Sekedar menginggatkan hingga saat ini kejaksaaan negeri palembang belum sama sekali menetapkan tersangka pemberi gratifikasi. Sementara, dua pejabat BPN kota Palembang yang dinyatakan sebagai penerima suap atas kasus PTSL di Karyajaya beberapa bulan lalu sudah diadili.

Kedua pejabat tersebut Joke Norita dan Ahmad Zairil dituntut dan terbukti menerima suap atau gratifikasi pemberian hadiah. Oleh Jaksa dan Hakim PN klas 1 A Khusus Palembang, keduanya dijerat dengan pasal 12 hurup B tentang Gratifikasi.

Pengadilan Negeri (PN) Palembang menjatuhkan vonis dua terdakwa kasus dugaan korupsi gratifikasi program Pendaftaran Tanah Sistematis Langsung (PTSL) tahun 2019 pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Palembang. Keduanya merupakan pegawai dan petinggi BPN di Sumatera Selatan.

Dalam persidangan, Majelis Hakim PN Palembang yang diketuai Hakim Mangapul Manalu mengatakan, dua terdakwa yakni Ahmad Zairil divonis dengan hukuman 4,6 tahun penjara dan Joke alias Yoke Norita divonis dengan 4 tahun penjara.

Selain hukuman pidana, juga menghukum terdakwa dengan denda. Ahmad Zairil didenda Rp 300 juta, dengan ketentuan jika tidak membayar ditambah hukuman 3 bulan penjara. Untuk terdakwa Joke didenda 200 juta dengan ketentuan denda tidak dibayar ditambah hukuman 2 bulan penjara.

“Menyatakan perbuatan para terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama,” ucap Hakim Mangapul Manalu saat membacakan putusan secara virtual, Senin (4/7/2022).

Kedua tersangka menerima gratifikasi penerbitan sertifikasi tanah pada 2019 silam. Tersangka pertama bernama Ahmad Zairil sempat menjabat Kasi Hubungan Hukum BPN Kota Palembang, sekaligus selaku Ketua Panitia Adjudifikasi PTSL 2019. Tersangka kedua adalah Joke, Kasi Penataan dan Pemberdayaan BPN Kota Palembang.

Terkait itu, Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejari Palembang Boby H H Sirait SH MH melalui Kasubsi Penyidikan Aldi Rinanda Rijasa SH MH saat dikonfirmasi, perihal kelanjutan perkara PTSL 2019  mengaku masih menunggu hasil putusan incracht dari dua terdakwa sebelumnya.

“Kami dari tim penyidik dan tim JPU masih menunggu hasil upaya hukum perkara tersebut. Saat ini, masih tahap banding. Apakah hasil dari upaya tersebut putusannya nanti dapat kami tindak lanjuti terkait pemberi atau tidaknya, lihat saja nanti setelah incracht atau mempunyai hukum tetap,” t erang Aldi singkat.(DG)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *