Partai Indonesia Damai (PID) Desak Pemerintah Menangani Intoleransi

Uncategorized178 Views

JAKARTA – Masalah intoleransi masih belum reda di negeri ini yang sudah berlangsung bertahun-tahun dan dialami kelompok-kelompok minoritas.

Sejak tampil kepermukaan, Partai Indonesia Damai (PID) memberikan perhatian khusus terkait masalah ini karena menyangkut hak azasi bagi setiap warga negara untuk dapat melakukan kebebasan dalam memeluk keyakinan atau kepercayaan yang seutuhnya dijamin oleh konstitusi.

Beberapa hari lalu kota Ponorogo terhenyak oleh spanduk besar yang dipajang kelompok intoleran untuk menentang pendirian bangunan gereja di tempat bertautan. Itu menyusul berbagai aksi intoleran belum lama berselang di berbagai tempat di tanah air yang ditujukan terhadap kaum kristiani.

“Hal seperti ini menyebabkan kegundahan besar bagi partai kami”, demikian kata Ir. Apri Hananto Sukandar M.Pd., Ketua Umum Partai Indonesia Damai (PID).

Lebih lanjut Ir. Apri yang nota bene pernah mengetuai satu fraksi di DPR, menekankan “adalah tugas penting dan perlu diutamakan oleh Pemerintah untuk mencegah terulangnya tindak-tindak intoleransi terhadap penganut agama apapun di bumi Pancasila ini, dimana minoritas maupun mayoritas bisa mengalami hal yang sama”.

“Partai kami, PID, sudah sejak awalnya mengantisipasi akan timbulnya kasus-kasus intoleransi di negeri ini, dan itu juga salah satu alasan pembentukan PID untuk ikut menjaga dan mengawal NKRI Pancasila dari perong-rongan oleh pihak-pihak tertentu”, demikian dikemukakan oleh Sekjen PID, Werdi Simanjuntak S.H., M.H., yang berprofesi sebagai pengacara, dalam kaitan kasus Sidoarjo.

Secara terpisah, Mangasi Sihombing, Wakil Ketua Umum PID menyeroti perkembangan masalah yang menimpa gereja GKI Yasmin di kota Bogor yang kasusnya sudah berjalan sejak 15 tahun lalu yang berawal dari pencabutan IMB bangunan gereja ini oleh pihak Pemda Kota Bogor.

Kasus GKI Yasmin sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung yang intinya bahwa IMB yang pernah diperoleh oleh GKI Yasmin adalah sah. Keputusan itu tercatat dalam Kepususan Mahkamah No. 127/PK/TUN/2009 tgl. 9 Desember 2010 dan sudah memiliki kekuatan tetap, artinya harus dilaksanakan.

Berarti hak menggunakan bangunan gereja sebagai tempat beribadah bagi pemilik harus dipulihkan. Ternyata ketika pengurus GKI Yasmin meminta Walikota Kota Bogor untuk membuka segel atas bangunan gereja ini, mereka ditawari opsi lain di luar keputusan Mahkamah Agung.

Dari pihak gereja GKI ada pihak yang menerima opsi ini, namun terdapat juga pihak lain yang menolak opsi Walikota dan memghendaki agar keputusan Mahkamah Agung yang dieksekusi. Pihak gereja GKI Yasmin terpecah sikapnya, suatu hal yang tidak pelu terjadi.

Namun hal itu terjadi karena sikap Walikota yang tidak menaati keputusan Mahkamah Agung. Dalam kaitan ini, Mangasi, yang pernah puluhan tahun berkarir di bidang diplomasi, menyarankan agar pihak pengurus GKI Yasmin memohon kepada Mahkamah Agung agar Mahkamah yang mengeksekusi keputusan yang dibuatnya.

Kasus gereja GKI Yasmin menunjukkan betapa rentannya satu komunitas terhadap campur-tangan pihak luar yang menyebabkan terganggunya rasa aman dan nyaman dalam menunaikan ibadah keyakinan, sesuatu yang semestinya dapat dan harus dihindari dalam satu negara konstitusional, seperti halnya NKRI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *