Minyak dan Gas Bagian Negara, Bisnis atau Fasilitas?

OPINI276 Views

Opini Oleh: J Kamal Farza dan A. Yulianto Nurmansyah

Penerapan hukum publik dan penerapan hukum bisnis dalam penanganan sektor minyak dan gas (Migas), harus dilakukan secara sangat hati-hati dan proporsional, karena terminologi Migas Bagian Negara saat ini bukanlah berarti exclusive tapi berarti komersial, business to business. Seyogianya, sebelum diterapkan dalam satu penanganan perkara, misalnya, penegak hukum harus memanfaatkan unsur litbang untuk mempelajari serius, apakah kasus yang ditangani itu masuk ranah perjanjian perdata, hukum koorporasi, yang berbeda penyelesaiannya ketika terjadi dispute.

Karena, komersialisasi Migas di satu sisi ada kepentingan negara, disisi lain ada hasil Migas tersebut yang bersifat komersial dan tentu menjadi bagian dari Normal Business Game yang dalam transaksikannya berlaku Business to Business principle. Dalam semua bentuk kerjasama Business to Business tentu berlaku ketentuan hukum bisnis, hukum kontrak, hukum perusahaan atau prinsip-prinsip hukum perdata yang tentu tidak dapat menjadi ruang untuk hukum publik berlaku atau terkesan ‘dipaksakan” untuk berlaku.

Memahami perbedaan “sifat” dari produk Migas yang diperoleh negara dari Kontraktor Kontrak Kerjasama (K3S)  dimana produk Migas tersebut bersifat komersial dan tidak diatur untuk prioritas oleh negara atau dengan kata lain tidak lagi menjadi bagian dari fasilitas negara karena merupakan produk migas yang telah bersifat komersial dan akan menjadi bagian dari Normal Business Game.

Sedikit menilik ke belakang penulis mengajak pembaca untuk melihat  jejak perkembangan dari undang-undang yang mengatur masalah Migas di Indonesia. Hal ini   akan berguna untuk membantu pemahaman sifat dari produk Migas berdasarkan Undang-undang yang berlaku di Indonesia.

Perkembangan Migas modern di Indonesia ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Undang-Undang No. 8) yang melahirkan Pertamina yang merupakan hasil merger dari Pertamin dan Pertamina. Undang-Undang No. 8 ini memberikan hak dan kuasa kepada Pertamina untuk memilih kontraktor penggarap blok migas serta menandatangani kontrak bagi hasil. Hal penting lain pada Undang-undang tersebut adalah mengenai bagi hasil sebesar 60 persen untuk negara atas hasil produksi dari Contractor Production Sharing (PSC) setelah dikurangi cost recovery  dalam rangka investasi.

Bagian Pemerintah ini dijual secara komersial oleh Pertamina atau PSC untuk digunakan di dalam negeri maupun ekspor. Setelah PSC generasi pertama, perkembangan bagi hasil PSC selanjutnya adalah bagi hasil 85:15 untuk minyak dan 70:30 untuk gas, yang berarti 85 persen dari produksi minyak dari kontraktor untuk Negara dan 15 persen untuk kontraktor, sedangkan  untuk gas 70 persen untuk negara dan 30 persen untuk kontraktor dikurangi cost recovery dalam rangka Investasi.

Penyempurnaan Undang-Undang No. 8 dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Undang-Undang No.22), yang intinya adalah dipisahkannya Badan Kontraktor Asing Pertamina menjadi Direktorat Management Production Sharing (MPS) yang kemudian berubah menjadi Badan Pelaksana Kegiatan Hulu migas (BP MIGAS) dan sekarang menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK MIGAS).

Pada tahun 2007 dikeluarkan Undang-Undang 30 tahun 2007 tentang Energi (Undang-Undang No. 30), yang merupakan bagian dari penyempurnaan bisnis minyak dan gas yang memberikan prioritas gas untuk daerah penghasil. Dalam pasal 20 ayat 3 (Undang-Undang No. 30 ini menegaskan, daerah penghasil mendapat prioritas untuk memperoleh energi dari energi setempat, dan khusus untuk gas bumi diatur dalam PTK 029 BP MIGAS  tanggal 5 Pebruari 2009 BAB II mengenai Gas Bumi butir B dimana disebutkan bahwa kebutuhan gas daerah penghasil migas khususnya untuk Pembangkit Listrik Skala Kecil (IPP) dapat dipenuhi dengan penunjukkan langsung sedangkan diluar kebutuhan tersebut seperti untuk Industri penjualan gas negara dilakukan secara komersial atau Business to Business.

Sejarah dan perkembangan migas memperlihatkan kepada kita bahwa migas bagian negara adalah migas yang diperoleh negara dari Kontraktor Kontrak Kerjasama (K3S) yang dijual oleh perusahaan penjual yang ditunjuk oleh negara (BP MIGAS) atau sekarang SKK MIGAS  secara komersial Business to Business, kecuali untuk keperluan yang menjadi prioritas dan diatur oleh Negara. Oleh karena itu migas  yang diperoleh negara dari K3S dan tidak diatur untuk prioritas oleh negara merupakan migas yang bersifat komersial dan menjadi bagian dari Normal Business Game.

Penghujung tahun lalu, di Bali diselenggarakan The 2nd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2021 (IOG 2021), 1 Desember 2021, dalam pertemuan ini dilakukan penandatanganan 41 kesepakatan komersial sektor minyak dan gas bumi (migas). Penandatanganan tersebut meliputi 12 perjanjian jual beli dengan total komitmen pasokan sebesar 189 miliar british thermal unit per hari (BBTUD) dan 620 ribu metrik ton LPG per tahun, satu heads of agreement (HoA), dua memorandum of understanding (MoU), dan 26 perjanjian sebagai implementasi penyesuaian harga gas bumi dengan volume sebesar 926 BBTUD.

Rentang durasi kontrak kerjasama itu pun beragam, mulai dari 2 hingga 14 tahun, yang menurut Wakil Kepala SKK MIgas Fatar Yani, potensi penerimaan untuk penjualan gas bumi dan LPG tersebut mencapai US$3,62 miliar dengan penerimaan bagian negara sebesar US$1,14 miliar.

Menurutnya, penandatanganan kontrak-kontrak gas tersebut tidak hanya menghasilkan pendapatan, tetapi juga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Nasional. Gas yang terjual, kata Fatar, sebagian akan disuplai ke pabrik pupuk di Sumatera Selatan dan Jawa Timur, untuk pengembangan industri di Jawa Barat dan Jawa Timur, kelistrikan di Kepulauan Riau, serta pasokan LPG dari Sumatera Selatan dan Jawa Timur untuk kebutuhan dalam negeri. Komersialisasi gas bumi menjadi salah satu pilar strategis dalam mendukung pencapaian visi jangka panjang SKK migas dengan produksi gas bumi sebesar 12 miliar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030.

Perubahan paradigma dalam pengelolaan Migas dan pemahaman terhadap aspek hukum dan regulasi pengusahaan industri ekstraktif, menjadi hal penting bagi semua orang termasuk kalangan pemangku hukum. Disatu sisi pengelolaan energi dan pertambangan menjadi sangat penting, karena menguasai hajat hidup orang banyak dan masih menjadi andalan utama dalam meningkatkan penerimaan negara. Disisi lain, pengayaan terhadap aspek hukum dan regulasi tata kelola usaha energi dan pertambangan harus selalu ditingkatkan untuk mewujudkan tata kelola energi dan pertambangan yang berkeadilan.

Hukum memberi hak eksploitasi dan eksplorasi migas berada di tangan Pertamina,  karena Pertamina memiliki mining rig migas, tetapi kemudian Pertamina dapat bekerjasama dengan pihak swasta dalam kerangka kerja komersial, Business to Business.

Karena itu, Penegak hukum harus berhati-hati dalam menangani kasus energi ini, soalnya komersialisasi energi di satu sisi ada kepentingan negara, disisi lain ada soal bisnis, dimana hukum yang berlaku adalah hukum bisnis, hukum kontrak, hukum perusahaan atau prinsip-prinsip hukum perdata. Penerapan hukum dalam kasus MIgas harus dilakukan secara hati-hati karena itu diluar sektor prioritas yang menjadi kepentingan Negara, Migas adalah bagian dari bisnis yang dilindungi oleh Hukum.

Ketidak hati-hatian dalam penanganan perkara energi, bisa terjadinya pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia para pengusaha, menimbulkan efek traumatik dan ini menjadi hal menyeramkan bagi investor, yang pasti akan berdampak sistemik terhadap perekonomian nasional.

*) J Kamal Farza, SH., MH. dan A. Yulianto Nurmansyah, S.H., LL.M., Keduanya Pengacara dan Konsultan Hukum, tinggal di Jakarta.

—————-

J Kamal Farza adalah mantan jurnalis TEMPO di Aceh, yang menjadi pengacara praktik sejak 1998, dan banyak menangani perkara bisnis, pidana dan litigasi publik relasi. Tahun 2021 bersama sejawatnya mendirikan dan menjadi senior partner di Ifdhal Mahmuddin & Farza (IMF) Lawfirm. JKF bisa dikontak: via email: farza@imflawfirm.com.

Yulianto Nurmansyah adalah Pengacara, Pendiri dan Managing Partner Advokat Nurmansyah Intelectual Property (NIP) Firm. Sebelumnya ia bekerja di Soemadipradja & Taher untuk masalah dan teknologi Kekayaan Intelektual, dan K&K Lawfirm sebagai Mitra Litigasi untuk menangani rangkaian lengkap masalah kekayaan intelektual dan litigasi yang kontroversial. Uli bisa dikontak via email: yulianto.nurmansyah@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *